Wednesday 10 August 2016

Novel: Warung Ngopi Bab 3



Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 2


Single Origin Dari Allan


Tak sulit bagi Allan mengajari Tomi. Ia cepat tanggap karena terbiasa di warung makan bersama ibunya. Mudah saja untuk Tomi masuk ke dalam kemauan Allan. Lagipula ia seseorang yang bersih. Allan menjadi suka padanya. Poin utama di dalam diri Tomi.
“Pokoknya kamu harus utamakan jaga penampilanmu sebelum dan setiap bertemu dengan pengunjung warung. Sebersih mungkin, serapi mungkin,” kata Allan di hari pertama Tomi bekerja. Dalam menghadapi pelanggan, Allan menuntut seorang pelayan tak boleh bersikap neko-neko, dandanan yang norak. Dan menuntut Tomi supaya berlaku ramah kepada siapapun. Yang jadi masalah, ia tak menyukai minum kopi. Namun apa boleh buat bila sang bos menyuruhnya mencoba minum kopi.
Biar sedikitpun meresap di lidah.
“Bos, aku sudah minum kopi.”
Yang ditanya sibuk mengecek nota-nota. “Hhm, gimana?”
“Pahit!” Mukanya masam kenang rasa kopi tempo hari. “Tapi mengapa kopi di dalam beda rasa?” tanyanya. Tomi tahu rasa kopi di kedai karena Uki pernah membuatkan salah satu jenis kopi kepada Tomi untuk dicicipi.
Allan mendongak ketika diajukan pertanyaan seperti itu, “Kopi itu banyak pengaruh. Dari kultural, pemetikan, waktu pemanggangan. Itulah mengapa kopi Indonesia beragam.”
Tomi geleng-geleng. “Wah... wah... wah...”
“Lalu sampai ke tangan kita. Meracik kopi juga bukan sembarang pakai air, lalu sentuhan seorang barista harus bisa kombinasikan jenis kopi untuk hasilkan karakter kopi sesuai diinginin konsumen dan kamu tak bisa memperlakukan kopi bubuk yang sama dengan pakai alat penyeduh A atau yang B.”
Ekspresi wajah Tomi tampak lebih bingung. “Kenapa bikin kopi butuh sepanjang gitu?” Sebelum Allan bicara keburu Tomi menambahkan, “Di warung-warung orang malah banyak suka minum kopi hitam yang disaring.”
“Memang ribet,” kata Allan, bersandar di punggung kursi, “Aku malah senang nikmati semua ini. Kami ingin hasilkan kopi terbaik dengan biji berkualitas. Sehingga masyarakat tahu ini lho salah satu cara minum kopi yang berkembang dari budaya negara lain selain tradisional.”
Tomi melihat bola mata Allan berbinar. Semangat yang membuncah. Terhadap kopi. Ia telah banyak berkisah kepadanya.
Allan tarik napas lalu mencondongkan badan. Ia menurunkan sedikit kacamata di bawah batang hidungnya. “Kalau aku beri kamu teori, percuma. Kamu mau belajar tidak?” kata Allan sambil melihat Tomi.
“Mauuuu...”
Tomi berpikir lagi. “Tapi... Aku nggak suka kopi, Bos.”
“Gampang. Asal kamu mau belajar. Aku yakin kamu bakal suka. Kamu training di dapur.”
“Apa?”
“Kamu mesti tahu dasarnya.”
Tomi membelalak mata tak percaya, “Maksudnya... Aku tugas di dapur.”
“Iya.”
“Aku belajar kopi?”
Allan mengangguk tegas. “Harus!!”
“Kamu harus tahu seluk beluk kopi. Bikin kopi bagaimana, rasa kopi, aromanya, pakai biji kopi apa dan asal kopi itu,” bebernya sama seperti tadi, “Kalau ada customer tanya tentang kopi, kamu bisa jelaskan. Jadi kamu ada gambaran seperti bagaimana sih kopi itu.”
Tomi menggangguk-angguk.
Hatinya bergejolak sukacita. Ia tak menyangka kesempatan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia berharap ia bisa mengintip orang-orang yang di dapur itu atau ia petik pelajaran dari mereka sambil bekerja. Namun hendak dikata apa pabila peluang itu datang sendiri menghampirinya…
Disuruh belajar meracik.
Allan memandang ke luar.
“Sekarang sepi. Kamu ke dapur. Bantu-bantu di dalam. Aku layani di sini. Suatu waktu kamu kupanggil kalau sibuk,” titahnya seraya membetulkan kacamata ber-frame putih.
“Baik.”
Saat Tomi hendak berbalik Allan mengucap sesuatu lagi, “Kusarankan kamu belajar sama Livi. Kalau Livi dalam waktu senggang.”
“Baik, Bos,” tegas Tomi.
Wah... tugas pelayan gerai kopi nggak seenteng yang kupikir!
Baru bergerak selangkah Tomi menoleh. Ada pengunjung masuk terpaksa Tomi urungkan niatnya. Ia balik kembali. Lakukan tugasnya dahulu.

***

Ibu Budi sengaja menghampiri tetangganya. Ketika dilihat tetangganya itu berada di depan rumah. Ia berlari kecil. Tetangganya itu adalah ibu Tomi. Tomi berteman baik dengan anaknya. Anaknya sering meminjami Tomi laptop, tak heran perkembangan terkini soal Tomi, ia jadi tahu.
“Mama Tomi, Mama Tomi,” panggilnya, “jarang lihat Tomi?”
Ibu Tomi hentikan langkahnya masuk ke dalam rumah. Ia baru pulang dari jualan makanan. “Dia kerja.”
“Kerja? Dimana?” katanya dengan pura-pura sedikit terkejut.
“Warung.”
“Warung apa? Makanan?”
“Warung kopi. Apa nama tuh warung?” Ibu Tomi berpikir, “pi, pi... ko... pi.”
Ibu Budi ikut bingung. Sabar menanti ingatan ibu Tomi.
“Ngo... iya, warung Ngopi.”
“Baru dengar.” Ibu Budi makin penasaran. “Bagian apa?”
“Warung itu baru buka. Layani orang.”
“Hah! Pelayan. Hhm...” Ia memelankan suaranya, “baguslah daripada dia di rumah.”
Dikiranya ibu Tomi tak mendengar. Di rumah dia juga ada bantu aku.
“Warung sayur Mama Tomi gimana? Kerja sendiri?”
“Ada satu anak laki-laki bantu aku. Anakku yang carikan.”
“Iya. Betul itu, Mama Tomi jangan angkat berat apalagi naik turun tangga bukit. Nggak boleh angkat beban berat. Ingat usiamu!” Perempuan sintal itu menepuk bahu tetangganya.
“Kerja sebagai pelayan apa bagusnya sih. Anakku kerja di bank. Pelayan cuma ngelayanin orang. Mana dapat banyak uang? Kenapa Mama Tomi kasih kerja sebagai pelayan?”
“Memang kenapa?” suaranya lantang. Kenapa sih dia sibuk urus anakku? Anakku di rumah mereka mempertanyakan mengapa anak lakiku di rumah nggak bekerja. Sudah kerja kenapa pilih jadi pelayan?
“Mana banyak uang sebagai pelayan. Anakku kerja pagi, pakai dasi. Anakmu pasti selengekan pakai kaos ke tempat kerja, ya kan?
Tomiku bukan begitu waktu hari pertama ia kerja. Ia rapi. Pakai kemeja putih, bersih.
“Semua tempat kerja beda bagaimana semua disamakan, Ibu...!”
“Aku memikirkan masa depan anakmu.”
Yah udah aku masuk dulu, Mama Budi, perlahan-lahan ibu Tomi menginjak kaki hendak masuk ke dalam rumah.

Ibu Tomi mengeluh.
“Kenapa?”
Sebenarnya Ibunya tak hendak mengatakan ini saat anaknya baru pulang kerja. Sudah capek-capek kerja anaknya harus mendengar ini. “Mama Budi ngomongi kamu. Sudah kerja, kamu masih saja diomongin. Adakah orang macam itu,” sungut ibu Tomi sela terjaga dari tidurnya.
“Apalagi?”
“Kenapa aku biarkan kamu kerja jadi pelayan? Nggak hasilkan banyak uang.” Menurut ibu Tomi lebih baik anaknyna pergi keluar bekerja daripada membantunya di warung makan. Dan itu memang keinginannya sejak dulu. Tapi ia tak berdaya menghalangi Tomi yang bersikeras agar membantu dirinya berjualan. Lalu ketika Tomi keluar bekerja, ia memprotes pada Tomi soal waktu kerjanya yang panjang dan tak menentu. Selalu pulang malam. Di saat ia tak bertugas, bosnya terkadang panggil Tomi masuk kerja.
“Ma, Mama nggak usah bimbang. Aku akan bekerja bersungguh-sungguh. Nggak usah tanggapi mereka ngomong. Oke!” Tomi menepiskan kekhawatiran ibunya dengan tangan melentang lebar di udara. “Aku akan menjadikan warung Mama lebih besaaar...”
“Plok...” Pipi Tomi ditimpuk telapak tangan ibunya.
Tomi meringis, “Aduh, perih...”
“Jangan berlebihan kamu, Tom. Mama lebih nggak mau dengar omonganmu daripada Mamanya Budi.”
“Mama kok pesimis sama anak sendiri?”
“Mama nggak suka dengar omong kosongmu.” Ibunya menguap, “aku ngantuk. Mau tidur,” ia bersusah payah bangkit dari baring di lantai kayu yang dilapisi karpet. Tinggal Tomi menonton TV tengah malam.

***

Bekerja di warung Ngopi memang ada enaknya dan menyenangkan, walau Tomi terkadang kecapekan bolak-balik dapur dan gerai melayani para pelanggan. Saat warung tutup ia mencuci gelas, cangkir, dan piring kotor. Selepas itu lanjut menyapu lantai, pagi tinggal atur seperlunya sebab waktu pagi bagi Tomi tak cukup untuk mengerjakan semua. Kurang panjang saja tenggang waktu itu.
Sebelum Tomi masuk, tugas itu menjadi tugas Uki. Ia tak segan ikut membantu Tomi bila cucian menumpuk dan bahkan bukan di saat jam tugasnya. Sebab ia memahami keadaan Tomi. Hingga saling tolong menolong itu menjalar hubungan mereka jadi akrab. Namun satu orang yang membuat Tomi tak habis pikir.
“Bang, boleh minta petunjuknya?”
“Aku sibuk.”
“Aku disuruh belajar kopi sama Bos.” Di luar lagi senggang dan ia lihat Livi sedang santai. Ini semua telah sesuai dengan keadaan warung dan amaran dari Allan.
Livi mengerang. “Tugas kamu di depan. Kami nggak butuh orang.” Di saat itu Primo melirik ke Tomi.
“Tapi...” belum sempat ucapan Tomi terlontar, Livi tinggalkan dirinya. “Bos nyuruh aku belajar sama Bang Livi.” Kata-kata ini mencegat langkah Livi.
Livi meletakkan tangan di pinggangnya. “Aku nggak ada waktu ajarin orang.”
Jelas-jelas ia berbohong. Tomi tahu Livi dalam keadaan santai maka ia berani ngomong kepadanya. Livi tak lagi sedang berbuat apa-apa. Tangannya tak sibuk membuat kopi.
“Belajar sama dia,” Livi melirik ke kiri lalu melangkah menjauhi Tomi.
Tomi ikuti ke mana lirikan Livi. Di situ ada Primo. Mata mereka saling beradu. Tomi kembali mendekati Livi dan mengutitinya, “Tapi, Bos suruh aku belajar dari Bang Livi.”
Livi balik badan. Ia tak jadi raih biji kopi di dalam toples, “Aku?” Ia menyeringai. Kemudian berucap sambil melototi Tomi, “TIDAK MAU.”
“Kamu cuci cangkir belum bersih!”
“Aku sudah cuci.”
“Belum.”
“Aku bilas dua sampai tiga kali.”
“Belum bersih.”
“Aku harus bilas berapa kali?”
“Belum. Tunggu aku bilang bersih baru bersih. Namun jangan harap kamu dapat pegang alat kopiku. Sementara tugasmu dariku adalah cuci dan nyuci. Dapur harus bersih dan yang di luar 'daerah kuasa'-mu harus lebih bersih.”
Tomi melangkah berat ke tempat pencucian.
Setelah Livi menggiling biji kopi ia berdiri di samping Primo yang menuang susu ke atas cangkir. Primo berkonsentrasi penuh pada cangkir yang dipegangnya dengan gelas stainless berujung lancip.
Keduanya sama-sama mengerjakan rutinitas mereka.
“Siapa sih dia? Datang-datang sudah minta disuruh poles bikin kopi. Pelayan itu urusannya di depan dong. Bersihkan meja.”
“Itu perintah Bos.”
“Masa bodoh.”
“Kenapa denganmu?”
Livi tak menjawab.
“Jangan katakan kalau kamu iri?”
“Kita semua pernah sekolah, ambil kursus, pendidikan tinggi. Dia...? Ada kenalan begitu mudah dia lolos sampai ke sini. Aku dulu bersusah payah agar bisa masuk kafe. Lalu dia mendapat ilmu dari kita?”
Primo hanya berkata, “Aku rasa dia akan alami itu,” kemudian menoleh, pandangi Livi di sebelahnya, “Percis yang kamu alami.”
Livi membuka mulut hendak menyanggah namun Primo keburu memutar badan. Ia berteriak, “Tomi...”
“Ya,” sahut Tomi di belakang dapur.
Tomi menghadap Primo.
“Begini, kamu bersihkan mesin ini setelah aku selesai pakai.” Primo menyentuh Espresso machine, mesin menyeduh kopi secara otomatis. Ia beri sedikit penjelasan tentang membersihkan alat itu ke Tomi.

***

Jikalau ia tak bekerja di Warung Ngopi ia tak bakal pernah tahu mengenai kopi. Ada hal yang ia senangi di warung ini dan sebaliknya. Pernah sekali tanpa sengaja dan licin oleh sabun, cangkir terlepas dari tangan Tomi. Ketika itu Livi menghampiri sebagai seniornya, ia leluasa memarahi Tomi. Bertolak belakang dengan sikap Primo, acuh tak acuh. Bisa dibilang daerah dapur dipimpin oleh Livi bukan Kapten Primo yang mengawasi pekerjaan Tomi.
“Apa yang kamu kerjakan di dapur? Pelanggan tanya kamu kenapa kamu malah termegap-megap?”
Tomi mendiam. Mengait-gaitkan jemarinya di belakang pinggangnya.
“Aku suruh kamu belajar bikin kopi. Jadi kamu bisa terangkan. Kamu nggak mau? Mau membangkang?”
Yang dimarahin kalut. Beberapa kali garuk kepala dan tolah toleh ke samping. Haruskah ia utarakan yang sebenarnya?
“Ada apa?” Merasa tak ada tanggapan pertanyaan dari dirinya. Allan membentak, “Jawab aku!” Pipi Allan yang chubby memerah.
Akhirnya Tomi mau jelaskan, “Aku nggak diajarin sama Livi.”
“Apa? Mengapa?”
Tomi hanya menunduk. Tangannya mengantongi saku apron.
“Panggil Livi.” Terdengar dari suara Allan yang meninggi menengarai kalau ia sedang jengkel.
Tomi angkat kepalanya mau melihat sekilas raut muka Allan apakah bosnya itu marah besarkah? Memang. Allan berpaling wajah dan menghentakan tangannya di atas meja. Lalu Tomi berjalan ke dapur.
Kini kedua karyawan yang dirundung masalah itu menghadap bos mereka. Allan menyilangkan kaki menyandar di samping meja panjang. “Kamu nggak ajarin dia?” Menatap tajam pada Livi.
Livi membisu.
“Kenapa?”
“Apa perlu pelayan diajarin?”
“Justru itu aku menginginkan hal itu. Supaya ia tahu tentang kopi. Pelangganku tanya kopi jenis apa, diseduh pakai apa, gimana rasanya? Dia nggak bisa jelasin. Nggak tahu. Hayo, gimana?” Allan menaikkan dagunya.
Hari kelabu bagi Tomi. Bertemu sama pelanggan Allan yang banyak tahu soal kopi.
“Walaupun dia pelayan, dia harus dibekali pengetahuan tentang kopi.”
Allan menatap Livi kemudian beralih ke Tomi yang semenjak tadi menunduk terus. “Tomi sama sekali buta dengan kopi.” Kembali menatap Livi. “Livi!”
Livi memandang bosnya.
“Kamu lakukan apa yang kusuruh. Jangan bebal!”
Livi angguk tanda paham.
Sekarang kalian harus kerjasama.”

Di dapur.
Livi berkacak pinggang menantang Tomi, “Kamu menjilat?”
Tomi mengerutkan alis sembari melebarkan kedua tangan, Tidak ada!”
“Kamu jilat Allan di belakangku.”
“Tidak, Livi. Percaya padaku.
Livi mengertakkan giginya sambil mengangguk-angguk, “Kamu tenang saja. Aku akan ajarin kamu.”
Aduh. Kenapa aku terus terang? Aku salah. Nggak bisa cari alasan lain. Aku nggak bisa berbohong. Gimana ini???Livi ngomong macam tuh, aku tahu dia. Apa yang dia katakan belum tentu dia laksanakan. Ia tak menyukaiku.
Mengapa?

***

Setiap pagi Pak Sutejo-pelanggan warung Ngopi-menyapa duluan para barista. Kebiasaannya menikmati kopi tubruk. Kopi panas di bawah kanopi disirami matahari pagi yang hangat sambil membaca koran pagi. Kadang kala ditemani telur ayam kampung setengah matang. Pria itu menginjak usia senja, enam puluhan. Rambut putih keperakan mengerayangi seluruh helai rambut. Kulit yang mengendur. Ia menikmati kesendiriannya bersama kopi dan berita semalam yang terjadi di kota kecil.
Mengapa harus Bos meracik sendiri kopi pagi ini? Dan aku disuruh perhatikan. Uki jaga di depan. Hari ini Livi tak masuk kerja, biasa ia yang menyeduh kopi dengan manual brewing.
Allan ambil biji kopi pilihan Arabika yang masih baru. “Krek krek krek,” suara biji kopi digiling oleh Allan. Biji kopi itu bergelinding di Electric Coffee Grinder merk Baratza Vario lalu serpihan-serpihan kecil turun ke dalam wadah, hasilnya medium coarse grind. “Kalau bikin di French Press, biji harus giling agak kasar seperti ini,” tunjuk Allan kepada Tomi. “Kopi yang segar, harum,” ucapnya.
“Kenapa kasar?”
Allan menjelaskan, “Supaya agak enak ditekan dan aroma kopi keluar.” Tomi mengangguk.
Di meja sudah tersedia alat penyeduh French Press warna hitam, merk Hario. Berbentuk tabung, di dalamnya ada plunger yang menyatu dengan penutup. Di bawah plunger, sebuah mesh untuk menyaring atau memisahkan ampas kopi dari hasil seduhan.
Ia tuang air panas ke dalam bejana, “Nah, ini agar tetap panasnya merata.”
“Aku nggak ngerti, Bos.”
“Kalau kamu kasih masuk kopi dan tuang air panas lagi, jadi suhunya nggak turun. Supaya aroma kopi tetap terjaga dengan rasa yang yahud.”
“O...”
Lalu dibuangnya air panas tadi dan biji kopi yang telah digiling dimasukkan ke dalam tabung. “Temperatur air 90-95°C. Bubuk kopi sebanyak 10 gr untuk air 150 ml per cangkir.” Allan menuang air panas ke tabung. “Kamu lihat.”
“Ada apa, Bos?”
Pabila bunga bertunas di musim semi. Kopi mengalami kejadian serupa. Saat kopi diberi air panas akan terjadi reaksi kimia, yaitu CO2 akan menguap. Lalu menghasilkan gelembung-gelembung di atas kopi. Mereka ini yang menguatkan aroma dan rasa pada kopi.
“Berarti it's fresh, Tomi. Dinamakan coffee bloom, seperti cinta yang memekar.”
Tomi angguk-angguk seolah paham arti pengandaian Allan.
Diamkan 30-60 detik baru aduk.”
Ketika cukup waktu, Allan mengaduk. “Tunggu 4 menit. Sekarang kita menyeduh kopi.”
Allan menambahkan wejangan, “Di French press kamu perhatikan suhu air panas dan waktu penekanan plunger. Nggak boleh tinggalkan kopi di dalam tabung lebih dari 4 menit.”
“Kenapa, Bos?”
“Nanti terjadi proses penyaringan terus menerus.”
Setelah empat menit, Allan menekan plunger itu ke bawah pelan-pelan sampai cairan kopi naik ke atas saringan. Ampas kopi kini mengendap di dasar bejana. Allan segera tuang kopi ke cangkir.
Kopi hitam siap disajikan.
“Pak Sutejo, spesial roti panggang.”
“Aku nggak pesan roti, Nak.”
“Hari ini adalah hari sebulan Bapak langganan minum kopi di warung kami.”
“Aa... Satu bulan.
“Kopi hitam single origin dengan French Press dan roti ini gratis dari Bos!” Tomi tersenyum merekah.
Momen ini ditunggu Allan. Ia ingin beri sensasi rasa kopi tanpa ampas kepada Pak Sutejo.
Pak Sutejo minum kopi di jam 07.45. Sebenarnya ia iseng-iseng datang untuk mencoba kopi di tempat modern. Ia senang cium bau uap yang menari-nari di cangkir. Kopi panas. Kepekatan kopi dituang ke piring kecil. Menyerut dari bibir tatakan itu. Sebelumnya dibiarkan dingin sebentar.
Banyak cara ataupun berbagai tipe orang meminum kopi. Ampas kopi ditinggal dalam cangkir. Sekian banyak kopi yang coba ditawarkan ia bersikukuh pada kopi tubruk. Ia lebih menyukai membaui aroma kopi begitu disajikan. Dengan ini, ia mengurangi sesak rasa rindu pada anak tercintanya yang saban hari bersedia menemani minum kopi bersama beliau.
Kata Allan, kopi harus diseduh tak lebih dari 10 menit. Pak Sutejo adalah salah seorang pelanggan yang suka duduk berlama-lama minum kopi sambil baca koran.
“Bapak, boleh ya hari ini ubah sedikit cara minum Pak Sutejo,” ujar Tomi suatu ketika ia meminta mengubah menikmati kopi yang benar.
“Apa maksudmu, Nak?”
“Sekarang Bapak coba serut kopi ini tak lebih dari 10 menit.”
Kopi yang disodor Tomi merupakan kopi tanpa gula.
“Kenapa?”
Silakan coba, Pak. Sesekali nikmati kopi dengan cara lain. Ingat, nggak lebih dari 10 menit, bujuknya.
Tomi memperhatikan orang tua itu. “Gimana, Pak?”
Pak Sutejo mengernyit alisnya.“Hmm… Beda. Kopi ini beda dari biasanya. Rasa kopi pas.”
Allan pernah menawarkan menyeduh kopi dengan cara lain. Tapi Pak Sutejo bersikeras minta kopi tubruk. Tak mau yang lain.
Hari ini sengaja Allan menyeduh untuk orang tua itu. Karena tempo hari Tomi pernah membujuk Pak Sutejo. Dan ia termakan oleh omongan Tomi. Ia jadi setuju pada ucapan Tomi setelah minum. Waktu itu Pak Sutejo mengatakan enak, tak pahit bukan seperti yang ia minum selama ini.
Itu sebab mengapa ia bersedia menerima setiap penawaran Tomi.
“Suka?” tanya Tomi. Menunggu tanggapan dari Pak Sutejo. Ia masih memegang cangkir di udara.
“Cocok dilidah.” Tomi bernapas lega. Orang tua itu angkat gelas kopi ditujukan kepada pemilik warung. Kebetulan Allan berpapasan melihat keluar.
Tomi tersenyum melihat keduanya.
“Walau begitu, Nak, aku lebih menyukai kopi tubruk biasa,” lanjutnya dan meletakkan cangkir ke tatakan.
Tomi menarik perhatian ke orang tua itu. “Barista kami yang biasa bikin kopi nggak masuk, Livi namanya.”
“Bertahun-tahun aku minum di tempat lain. Orang yang barusan kamu sebut sanggup bikin aku berpaling.”
“Terima kasih, Nak Tomi!”
Cukup senang Tomi mendengar. Senyumnya lebar nan merekah.
“Bosmu punya daya ingat sangat kuat. Aku minum berapa lama di sini dia ingat.”
Tomi tersenyum ramah lalu membungkukkan badan, “Selamat nikmati kopi dan 'bunga' matahari!”
Kesukaan Pak Sutejo lagi, hangatnya sinar matahari menyirami tubuhnya. Ia memilih tempat di outdoor kafe. Memunggungi terik pagi.

Tomi masuk ke dapur.
“Kapten, kenapa nggak mahir di-manual brewing?” tanya Tomi.
Primo menaruh cangkir di mesin Espresso. Menoleh ke Tomi. Menatap tajam.
Huft, kenapa menatapku macam itu?
Dalam kebisuan Primo kembali lanjutkan pekerjaannya.
Selesai ekstraksi Espresso Primo serahkan cangkir itu kepada Tomi. Tomi heran pada perlakuan Primo yang dingin, cuek dan diam. Sejurus itu Tomi mendekati Uki ke dapur sebelah. “Ki, kenapa ya Primo, aku tanya ke dia kenapa nggak mahir di-manual brewing. Lalu dia...”
Belum selesai Tomi bicara langsung disambar Uki, “Apa? Kamu tanya begitu?” Uki melotot.
“Emang kenapa?” Tomi pasang wajah tak berdosa.
“Kamu sudah tahu dia senior kita. Primo atasan kita semua. Berani-berani kamu bertanya seperti itu?” Uki meraih cangkir di tangan Tomi dan dengan ujung sendok ia menuang Espresso ke atas pisang goreng.
“Kalau nggak ngerti tanya aku. Jangan sembarangan! Nyalimu tinggi sekali!” ia memelankan suaranya, “Ingat Tomi. Orang lama biasa nggak suka ditanya macam itu. Apalagi kamu karyawan baru.”
“Iya.”
“Kalau dapat Livi, habislah kamu.”
Uki menghapus tetesan di sisi piring dengan kain. “Aku heran mengapa Livi begitu tak menyukaimu.”
“Itu aku nggak berani nanya sama dia.”
“Primo nggak mau belajar sama bawahan, menurutku itu.”
“Benarkah?”
“Pendapatku saja. Tak seorangpun tahu alasannya mengapa,” desis Uki.
“Trus kenapa Livi nggak belajar Espresso?”
“Dia nggak suka pakai mesin. Lebih menyukai aroma biji kopi. Suara-suara gelembung kopi yang diseduh dari alat manual,” dengan gaya jari tangan ke atas mengambarkan bunga yang mekar. “Kesukaan Livi. Walau nggak praktis. Ini menyangkut seni dan kenikmatan sendiri bagi pribadi Livi.”
“Kok nggak imbang? Gimana kalau salah seorang dari mereka sakit?”
“Kamu berharap mereka sakit?”
“Misalkan.”
”Yah, terpaksa nggak bisa penuhi permintaan customer. Atau harap Allan.”
Obrolan mereka hampir selesai jadi Tomi berjalan mundur seraya memegang dua piring Pisang Goreng Espresso siap untuk diantar ke depan. “O... gitu.”
“Tomi,” panggil Primo dari sebelah dapur.
“Ya,” teriak Tomi berhenti di depan pintu, “ada apa, Kapten?”
“Bantu aku setelah kamu selesai.”
“Baik,” ucap Tomi.
Sambil berjalan ia berpikir, Primo panggil aku dan menyuruhku lakukan tugasnya. Aneh, berarti dia gak tersinggung.

***

Bau, aroma dan beragam perbedaan biji kopi dengan kopi bubuk membuat Tomi takjub. Ternyata banyak macam kopi yang belum ia kenal dan tak terekspos. Tomi bertanya pada dirinya apakah kedangkalannya tentang seputar kopi sama berlaku dengan orang awam.
Ia baru tahu kebun kopi Indonesia tumbuh di seluruh pelosok. Dan rasa kopi itu sangat tergantung sekali pada ketinggian, letak dimana pohon kopi ditanam.
Beda tempat. Beda rasa. Beda aroma.
Tanggapan orang-orang pun beragam. Entah apakah itu karakter kopi daerah Sumatera beraroma spicy, earthy, dipadu rasa asam rendah dan tekstur pekat. Sulawesi terkandung rasa coklat, tingkat asam yang tinggi. Dan Jawa, bau-bau rempah-rempah herbal. Di Bali rasa asamnya medium dengan rasa jeruk.
Bicara seluk beluk kopi, isi otak Tomi semakin meluas berkat obrolan dengan Allan di sela senggang. Dan berdasar pengetahuan Allan, ada petani yang menjual kopi, tapi hanya minum dari seduhan daun kopi saja.
“Kopi yang enak bertumpu pada porsi seberapa sering kamu rajin bersihkan alatmu,” Allan selalu mengatakan itu kepada Tomi. Tomi bersangsi bahwa ia tugasi itu paling-paling supaya alat kopi yang mahal itu bisa tahan lama dipakai.
Padahal bukan.
Saban hari sebelum Primo turun kerja, Tomi membersihkan alat mesin Espresso dan mengecek mesin setiap pagi. Memanaskannya sebelum dipakai. Dan Primo perlu menekankan, hal terpenting dalam menyeduh kopi adalah merawat peralatan seduh. Jangan sampai terlewati dan menganggap remeh soal kebersihan.
“Ucapan Livi ada benar. Secara nggak langsung ia sedang mengajariku meracik kopi,” pikir Tomi suatu ketika di dapur sendirian bersama kopi dan alat penyeduh. Saat itu ia iseng dan berinisiatif membersihkan alat French Press namun alat itu nampak bersih sekali. “Nggak salah lagi. Aku ngerti maksud Livi.”
Sisa-sisa kopi yang melekat pada setiap alat penyeduh akan memberikan efek pada proses penyeduhan kopi berikutnya. Sehingga, memiliki kopi yang berkualitas didukung alat penyeduh canggih sekalipun akan percuma bila kebersihan di alat tidak menjadi bagian prioritas.
Tomi senang banget bekerjasama dengan mereka-mereka. Apalagi Allan banyak mendukung dan banyak beri peluang kepadanya mengenal kopi lebih jauh.

Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 4



No comments:

Post a Comment