Saturday 7 January 2017

Warung Ngopi Bab 6


Bab sebelumnya: Novel Warung Ngopi Bab 5


Custom Menu


Keesokan hari.
Seorang perempuan 27 tahun. Make up–nya dilapis tipis. Rambut digerai. Blouse putih panjang dengan short pants, vest bercorak flower dan... boots.
Ia menuju ke outdoor Warung Ngopi, mengambil tempat di meja bundar dan kursi kayu bercat putih susu. Dekat railing tangga. Perempuan itu begitu duduk, menyilangkan kaki. Menarik perhatian pelayan di situ.
Tomi menguap lebar-lebar. Melirik di sudut matanya. Lalu ia menghampirinya, “Pesan apa, Bu?” Sepertinya ia belum melayani perempuan cantik ini.
Jemari gadis muda itu lincah mengetik di keyboard laptop. Ia menengadah dan tersenyum, “Satu coffee. Lebih banyak susu.
Flat White, sambungnya.
“Dingin, panas?”
“Panas.”
“Ok.”
“Eits, tunggu. Hangat deh.”
“Baik.”
Segera Tomi menghambur. Ia membatin, “Pilihan seorang perempuan mudah berubah karena mood. Mudahan hatinya tak mudah berubah.”
Agak lama Tomi bawa keluar secangkir flat white dan sebuah poci kecil berisi air putih di atas baki kayu.
Lantas Gee tersenyum manis. “Terima kasih, Tom.”
“Aku dapat.” Tomi mengumam sendiri lalu beranjak dari situ.
Dibanding sebelum-belumnya, bawaan hari-hari yang dijalani Tomi terasa indah banget. Begitu turun kerja pagi, tahu-tahu Gee datang kerja sudah melempar senyum kepada Tomi, mengingatkan masa sekolah mereka.
Di bangku SMA, Gee menyebar mata ke sekeliling dan berembuk sama tatapan Tomi yang lagi melihat Gee. Hari ini kurang lebih sama dengan past moment mereka berdua. Pagi ini malah dibuka dengan ngobrol sebentar di meja counter bahas tadi malam. Tomi mengaku sulit tidur semalam dan entah berapa kali ia menguap terus sepanjang pagi.
“Kamu kasih habis kopiku.”
“Kamu sudah minum dua gelas. Saking terlalu sayang dibuang. Aku kasian sama kamu kalau harus meminum semua. Apa aku harus bengong kamu melahap semua kopi?”
Gee tak dapat berkata banyak. Argumen ini dimenangkan oleh Tomi. Ia benar.
Seketika lamunan singkat Tomi buyar saat beberapa pengunjung datang dan menempati meja panjang di seberang Gee.
Tomi beranjak dari meja counter mengambil daftar menu dan melayani mereka.

Ia mengutak-atik folder foto di laptop.
Tangannya memuntir ujung rambutnya, duduk menyamping. Lalu tinggikan rambutnya, digulung dan diikat menyerupai sanggul yang sederhana.
Nampak seksi, komen Tomi atas gelagatnya.
Ia senyum-senyum sendiri sambil poni tipisnya dirapiin dengan jemari.
Hal itu diperhatikan oleh Tomi yang berdiri di seberangnya. Menanti pengunjung memikirkan pesanan.
Dia kalau senyum, manis banget. Tiap kali aku tawarin kopi ke dia. Pasti senyum. Ah… bonus untukku. Tunggu bukan bonus, itu ‘tipsuntukku.
Tomi mengernyit alis. Tapi ngapain dia senyum sendiri? Apa yang bikin dia happy?
Gee mengklik tombol previous terus. Muncul foto Tomi yang tercenganga. Mata sipitnya melebar.
Gee menahan tawa geli melihat ekspresi mimik cowok di foto itu. Ia tentu tak menyadari jikalau orang yang di dalam foto itu sedang memperhatikannya dan ikut tertawa bersama. Seolah-olah Gee mengirim pesan perihal di dalam foto ke Tomi dan ia ikut tertawa.

Di sisi lain, Uki sedang mengintip keluar di balik pintu dapur.
Terdengar suara pelan Livi di telinga Uki, “Ada apa?”
Jantung Uki terlonjak. “Haah... Kamu mengagetkanku!”
Livi memoncongkan bibirnya, tak pedulikan protes dari Uki, “Tuh, lihat anak itu. Kamu bilang aku terlalu keras terhadapnya. Dia mulai tunjukkan belang kalau Bos nggak ada. Makin menjadi-jadi.
Tomi asyik duduk di samping Gee. Ia dibuat penasaran oleh tawa Gee. Maka ia pun menghampiri Gee. Lupa seketika akan tugasnya menghantar minuman ke pelanggan. Tak sadar jika di belakangnya Livi mencak-mencak dan dongkol kepadanya yang tak kunjung mengambil pesanan customer yang sudah selesai.
Livi menoleh ke Uki. “Kamu bilang aku jangan berprasangka padanya. Dia malah haha hihi sama tunangan Bos.”
“Mereka teman sekolah. Wajar, kan?”
“Lalu siapa antar kopi di dalam?”
“Aku.”
Flat White itu ternyata untuk dia,” desis Livi.
“Dia sibuk sendiri di dapur. Pantas kenapa dia cerewet tadi. Jadi ini alasannya. Tomi membuatkan pesanan sesuai kemauan Gee.”
“Suruh dia hadap aku?”
“Kenapa?”
“Dia berleha-leha.”
“Aku akan ingatkan dia.”
“Pasti dia jilat Geizya.”
“Ah, enggaklah.”
“Apa kamu seyakin itu? Berapa lama kamu kenal dia? Sejauh mana hubungan pertemanan kalian?”
“Percayalah padanya.” Uki menepuk pundak Livi. “Jangan memulai, Livi!”
“Mengapa dia memperlakukan Gee begitu baik? Sering betul dekatin tunangan Bos. Pasti ada mau dia tuh.”
“Iya yah, kenapa dia perhatikan Gee begitu?” Jari telunjuk Uki diketuk-ketuk di tulang pelipisnya.
Terdengar teriakan Livi dari dalam. “Bilang mau antar. Cepat!” Uki tak sadar kapan Livi masuk ke dalam.
“Iya, iya,” pekik Uki.

***

Betapa bahagia hati Tomi tadi. Namun, sekarang di dapur.
“Kamu di sini mau kerja apa ngodengin anak orang?” sidik Livi berkacak pinggang pada Tomi selepas kerjaan longgar.
“Kerja.”
“Yah konsentrasi pada pekerjaanmu.”
“Iya.”
“Lalu kenapa kamu ikut-ikutan duduk sama Gee?” ketika Tomi diinterogasi mengapa ia bisa sampai salah kasih orderan sehingga Livi membuat kesalahan meracik kopi.
“Dia ajak aku, Bang Livi.” Terpaksa ia bohong supaya tak kena damprat. Ia kurang konsen karena ia kurang tidur. Kalau sampai ketahuan bisa-bisa ngalahin omelan sang majikan.
“Ingat, jangan ganggu anak orang walaupun kamu kenal, temanmu. Jangan lupa dia tunangan Bos-mu.”
Masak ngobrol doang sama Gee nggak boleh. Kan, buang stres. Bang Livi sih terlalu serius. Santai dikit napa? Bos kita bawaannya nyantai, rengut Tomi.
Setelah memberi pelajaran kepada Tomi. Livi mendatangi Uki. “Enak sekali. Masuk ke sini dengan mudah. Allan mengizinkan dia leluasa meracik kopi di dapur, Livi bersungut-sungut, “Aku? Orang macam aku perlu sekolah. Masuk lamaran. Dia... punya koneksi tinggal masuk. Tinggal bujuk tunangan Allan. Mentang-mentang hubungan teman sekolah.”
“Livi, kamu jangan ngomong begitu. Dia bukan seperti itu. Didengar Tomi.” Uki menyikut Livi.
“Dia su...” Kata-kata Livi terhenti kepada sosok Tomi muncul di hadapannya. “Kenapa? Aku kerja keras kok. Sama kayak kalian. Dari bawah,” mendadak Tomi menengahi pembicaraan Livi. Ia berhenti di depan pintu dapur jadi sempat menguping obrolan mereka. Hingga berpikiran ia perlu meluruskan.
Uki menengok ke Livi.
“Aku akan buktikan aku juga bisa kayak kalian. Bang Livi sebagai karyawan yang lama bekerja dengan Bos, kenapa Bang Livi nggak kasih kesempatan kepada kita untuk berkembang? Belajar bersama dengan kalian.”
“Warung ini bukan kelas kopi!”
“Tapi kami, kan, sah-sah saja belajar?” Tomi mengepal telapak tangan di samping pahanya, “Apa.. Bang Livi takut?”
Livi heran pada ucapan Tomi, ia menengadah dagu, “Takut apa?”
“Kami ambil posisimu, terancam atau...” Tomi memompa keberanian untuk menambahkan ini, “...Bang Livi seseorang yang pelit bagi ilmu?”
Livi terbungkam.
“Benar, kan?” tandas Tomi.
Primo semenjak tadi sibuk pada pekerjaan. Tak ingin campur urusan mereka. Tapi ujung matanya turut menelisik ke arah Livi.
Uki salut pada keberanian Tomi. Tak lama bekerja sudah utarakan uneg-unegnya, kekurangan di dapur ini, dan melawan kekerasan hati seorang Livi.
“Di luar sana banyak orang mau masuk ke sini pengen jadi barista kayak kalian. Sayang mereka nggak punya uang untuk belajar. Beri kami kesempatan belajar dari kalian. Sebab kalian panutan kami.”
“Sebenarnya kalian dapat berbangga membantu seseorang yang kepengen banget belajar kopi darimu.”
“Dengar! Di sini nggak ada yang namanya serba instan. Ngerti!”
“Aku tahu. Aku ada belajar dan bekerja apa yang kalian lakukan dari semula. Berusaha tingkatkan skill. Aku nggak bermalasan.”
“Kamu beruntung ada kenalan, Gee-mu.” Tunjuk Livi mengarah ke luar sana.
Apakah ini alasan Livi tak menyukaiku, tak mau menerimaku dari awal?
“Aku akan waspada denganmu! Aku mau lihat usahamu,” ancam Livi.
“Baik. Akan kubuktikan.”

Tomi menggiring Cappucino ke meja pengunjung. Ia menaruh cangkir kopi susu dengan secarik kertas segiempat sesuai dengan pesanan pengunjung itu. “Ini.. boleh dibawa pulang supaya besok-besok pengen pesan rasa kayak hari ini bisa kita bikinkan,” jelas Tomi.
Pengunjung itu mangut-mangut.
Perasaan Tomi, PLONG. Menguap sudah sesak di dada. Kedongkolannya terhadap seniornya, Livi. Dan melihat respon pengunjung satu ini tersenyum sambil serius membaca pesanannya. Bikin hati Tomi sejuk.
Beberapa pengujung datang dan duduk di sudut kanan. Tempat yang nyantai. Ada tumpukan buku di meja berbahan kayu.
“Silakan diisi yah kertas nih? Pesanan custom,” kata Tomi saat di samping mereka.
Seorang pengunjung mendongak dan bertanya heran, “Lho nggak ada daftar menu?”
“Ini pesanan custom. Sebenarnya ada. Tapi kami lagi ngetest untuk enggak pakai daftar menu. Konsumen memesan minuman sesuai dengan selera kalian. Jadi silakan isi di dalam daftar kolom-kolom itu. Sebagai gambaran kalian dapat lihat kategori menu ini. Centang saja.”
“Oh gitu.”
“Ini inovasi baru dan kami ingin berikan sesuatu yang beda kepada kalian. Kalau kurang paham saya akan jelaskan.”
Tomi berdiri tak jauh dari meja pelanggan. Ia melirik Gee. Ia gugup, hatinya membuncah cepat. Apa aku katakan ya?
Setelah pengunjung memesan menu custom. Tomi masuk ke dapur kemudian hampiri Gee. Tomi mengetuk-ngetuk jarinya di meja counter mengganggu ketenangan Gee. Tomi berharap Gee menanyakan kegelisahannya.
Gee melirik, “Kamu kenapa, Tom?”
Apa kamu ingat janji kita? Kapan ada waktu luang?
Gee menyebut ulang orderan yang diberi oleh Tomi, “Meja no. 2 tambah roti bakar 2.”
“Yang itu aku berhasil buat pengunjung memesan custom menu, sahut Tomi.
HP Gee berdering. Sejenak ia berpaling melihat ke layar hape. Namun ia menoleh kembali kepada Tomi. “Benarkah?”
Betapa berkecamuk hati Tomi karena ia sanggup mengalihkan perhatian Gee dari panggilan itu. Mungkin dari Allan.
Tomi tersenyum bangga. “Berhasil, kan, aku.” Ia berhasil lagi membujuk pengunjung untuk memesan pesanan custom.
“Hebat.”

***

Mengapa teleponku nggak diangkat?
“O... Mungkin Kakak saat itu ngobrol sama teman.”
Siapa?
“Teman lama. Dia kerja di warung.”
Kok jam segini baru pulang.
“Mmm, tadi... Wait, wait, Lagakmu seperti Mami aja deh! Aku lebih tua darimu.”
Gellyta terkikik di seberang. Siapa sih dia?
“Mau tahu aja!”
Kak... please. Siapa, Kak?
“Teman sekolah.”
Aku kenal dia?
Aduh… aku nyesel kasih tahu dia, keluh Gee dalam hati.
“Dua kali kamu ketemu dia.”
“Cewek atau cowok?”
“Cowok.” Matanya menerawang. “Hmm. Ketemu lagi. Aku lebih suka gaya rambut dia dulu deh.”
Siapa, Kak? Gellyta menunggu jawaban. Siapa sih dia?
“Kamu banyak tanya. Nggak kuberitahu! Biar kamu penasaran.”
Halo! Halo! Kak...
Tut... tut... tut...
Gee tersenyum girang. Tak terbayang gimana wajah adiknya kini di Surabaya gundah gulana. Seingat Gee, adiknya mengaku terakhir kali papasan dengan Tomi di jalanan.
“Aku lihat temanmu jalan di trotoar, dia ke sekolah dekat rumah kita.”
“Temanku, siapa?”
“Dulu cowok yang pernah Kakak tumpangi ke sekolah.”
“O... Tomi.”

“Gimana” tanya Primo sambil merapikan kerah bajunya.
“Apa gimana?”
Keduanya berjalan bersama ke tempat parkir.
“Tomi hari ini.”
“Kenapa dengan dia?”
Primo menghela nafas, “Lho dia sanggup beri sentuhan beda. Apa belum mengubah dirimu?”
“Tidak.”
“Belum cukup? Berapa poin yang akan kamu beri?”
“Masih terlalu dini unuk menilai dia.”
“Jangan lupa custom menu ide dari dia, Livi!”
Livi tak menghiraukan omongan Primo. Ia melesat dengan menancap gas motor.



Bab selanjutnya: Novel Warung Ngopi Bab 7



No comments:

Post a Comment