Gambar. Coret. Gambar. Coret-coret lagi. Tomi mencakar doodle art di stick notes-nya.
Warung Ngopi
dibuka sejam lalu. Sela waktu senggang ia duduk di salah satu meja dekat counter sekedar menumpahkan ide yang
nangkring di kepala ke bentuk sketsa.
Gee mendatangi
Tomi, “Tom?”
“Ngg,” jawab
Tomi, menunduk ke atas stick notes.
“Aku mau
minta tolong?”
“Katakan.”
Tomi tengah
asyik lakukan oret-oretan di lembar berikut, berujar, “Kemana?”
“Ke pesta?”
Ia berhenti
oret-oret dan mendongak. “Pesta apa? Siapa?”
“Temanku married. Harus bawa patner cowok. Kamu
tahu kan Allan nggak ada.”
“O... Kapan?”
tanyanya, simpan stick note ke pocket apron.
“Minggu ini.
Bisa?”
Tanpa
berpikir panjang lalu mengatakan, “Bisa, bisa,” seraya menggangguk.
Gee
berhati-hati buka suara. “Ehm, pakaianmu... Harus rapi. Masalahnya dress code formal.”
“Apa? Dress code?”
“Pakaian yang
wajib dipakai. Formal.”
“Formal? Ada
pula acara begitu?”
“Iya, atas
formal bawahnya sepatu sneakers.
Pengantin cowok pakai sneakers. Jadi
teman cowok atau pacar temannya wajib pakai sneakers.”
“Kayak gimana
tuh, Gee? Aku nggak ngerti?” Tomi garuk kepala.
“Cukup satu
macam untuk kamu tampil formal. Pakai dasi!”
“Ohh ho ho.
Gampang! Nih,” tunjuk Tomi ke dasi hitam yang ia kenakan.
Gee melengus.
“Jangan dong!” bentak Gee.
Tomi kaget.
“Maksudku...”
Gee tak mau Tomi tampil dengan kesan biasa bila di sampingnya. Ia berpikir
sejenak. Alasan apa yang harus ia katakan agar Tomi tak tersinggung, “...pilih
bermotif.”
“Aku nggak
punya dasi selain...” Tomi mendongak kepala ke atas, “dasi sekolah.”
Gee tertawa
sambil geleng-geleng kepala. “Iya, cobalah. Kalau PD.”
“Tenang Gee. Aku
ada. Aku pergi pinjam sama tetanggaku. Dia sering ke gereja. Singer.”
***
Foundation untuk menyamarkan noda gelap pada wajah
dan kantung mata Gee. Lalu bubuhi bedak. Aplikasikan maskara supaya memberi
volume pada matanya. Di depan kaca meja hias, sentuhan terakhirnya Gee mengoles lisptik warna
merah bata. Kemudian semprotkan eau
parfumee vaforisateur aroma yang lembut. Wangi Green Tea. Sisi kemolekan
Gee tambah terkuak. Ia terlihat anggun, elegan dengan lace dress warna broken
white dipermanis dengan ban pinggang beruntai mutiara. Rambutnya
di gelung.
Bersiap
jemput Tomi.
Gee melipat
tangan. Memikirkan sesuatu. Sambil memainkan jemari di lengan kiri.
“Dasinya lebar banget!”
“Lepas! Ganti
dasimu.” Tomi membuka kembali dasi yang Gee tak tahu berapa lama dibutuhkan
Tomi mengikatnya. Ia sampai puncak kepasrahan oleh karena tak berhasil mengikat
hingga layak disebut dasi. Lalu ia pun menyambangi ke rumah tetangga agar
mengikatkan dasi untuknya. Dan kini hitungan menit ia menyuruh Tomi melepas
dasinya.
“Kamu bukan
bapak-bapak. Mana cocok pakai beginian.”
Gee
mengeluarkan sesuatu dari clutch.
“Apa itu?”
“Sini,
perhatikan.” Gee melipat-lipat
kain katun
persegi tiga menjadi persegi panjang.
“Model apa
ini? Kenapa nggak sama?”
Gee
berjinjit. Ia berhasil mengalungkan scraf
itu ke leher Tomi. “Kenapa harus sama? Ini juga dasi.”
Tomi
mengangkat dagu. “Mirip-mirip...”
Kemudian Gee
naikkan kerah kemeja putih Tomi. Pegang kedua ujung scraf lalu disimpul, tarik agak kencang pas di bawah leher Tomi,
ambil ujung pertama yang sebelah kiri jadi di sebelah kanan disimpul sekali
lagi. Lalu tarik.
“Trala...
dasi dari inspirasi scarf yang
dipakai chef. Scraf diaplikasikan
sebagai dasi.”
“Beli
dimana?”
“Aku desain dewe,”
ucapnya.
“Gee?” Tomi
tawa terbahak-bahak, kagum, “Wah... keren.”
Gee lipat
kerah kemeja Tomi dan benahi scraf
itu supaya nampak rapi. “Nah... kan, bagus. Sekalian kamu kujadikan model promosi
dasi buatanku. Hehehe.” Gee menyentuh ujung dasi tersebut. Tersenyum bangga.
“Hmm. Pantas
untukmu. Aku pintar memilih, bukan?”
“Huft...muji
diri sendiri.”
“Abis kamu
nggak puji aku! Ini datang dari Surabaya. Adikku membawakannya.”
“Aku harus
berkata.. WOW.”
Garis
melengkung ke atas di bibir Gee.
Scraf motif
garis diagonal dengan warna putih dan coklat muda selang seling menjadi dasi
ala chef. Tangan Gee mengibas baju
Tomi seolah-olah menyingkirkan debu. Ia puas melihat tampilan Tomi. Atasan
putih, celana panjang warna coklat dan sneakers
hitam. Perasaan takjub tercungkil di batinnya.
Tomi
mantengin kaca spion mobil, “Lelaki di kaca ini gagah banget?”
Gee melihat
punggung Tomi, nyinyir di belakang Tomi. Lalu ia berjalan
memutar ke pengemudi mobil.
Satu hal
kecil mengganggu Gee sepanjang mengendarai mobil. Tentu saja Tomi tak menyadari
itu.
Tomi berjalan
mendampingi Gee masuk ke gedung. “Temanmu nanti anggap aku pacarmu, gimana?” Tomi raba rambutnya di telapak tangan.
Alisnya menukik tajam.
Gee melirik
Tomi. Haiishh... Rambut nggak matching deh. Aku nggak
suka.
“Ah... Nggak.
Mereka tahu kok. Bilang aja kamu temanku. Aku butuh patner.” Gee berusaha
bersikap wajar. Dan berucap dengan santai, “Toh kita berteman.”
Oh gitu.
“Jangan ambil
pusing! Okey.”
“Ok.”
***
Tidak banyak
yang dibicarakan antara Tomi dan Gee semasa menyantap makanan. Setelah selesai
makan. Gee melihat teman sekolahnya berkumpul di pojok ruangan. Ia meminta
kepada Tomi kalau ia ingin menyampirin temannya untuk menyapa dan nimbrung
bareng. Dengan lapang dada Tomi memberikan waktu kepada Gee.
“Siapa cowok
bersamamu, Gee? Pacar barumu?” tanya Wanto kala melihat Gee mendatangi mereka.
“Kamu putus
dengan Allan?” sergap Kimie, sahabat Gee.
Belum dijawab
oleh Gee. Disambar pertanyaan berikut. “Kita nggak tahu.”
“Apa? Gee,
kamu putus? Kami nggak tahu,” ujar Retha, mencondongkan badannya semacam untuk
memastikan kebenaran isu itu.
Cowok di
sebelah Gee menimpali, “Statusmu single
nggak beritahu. Aku masuk dalam daftarmu, boleh nggak?” Matanya
menggoda Gee.
Gee mengibas
tangannya ke atas, “Hei, hei. Sembarang!”
“Wah... Gee,
daya pesonamu level puncak. Cowok-cowok pada antri kamu begitu tahu kamu
kosong.”
“Hahahaha,”
tawa Gee. “Dia temanku. Kalian tahu kok, Retha, Kimie. Teman
sekolah SMP?”
Retha
mempunyai rambut keriting. Senyumnya manis. Kulitnya putih. Kimie
paling tinggi di antara mereka bertiga. Rambut pendek, pipinya tembem dan
bermata sipit.
“Mana dia? Aku
nggak lihat?” Retha tolah-toleh mencari pasangan Gee.
Gee menoleh
ke belakang. “Iya ya, kemana dia? Dia di meja situ,” ia memanjangkan lehernya.
“Sudah nanti
dia cari kamu kok,” saran Kimie.
“Gee, dengar
gosip kamu buka kafe?” tanya teman Gee yang lain.
“Bukan gosip.
Sudah berjalan.” potong Retha.
“Hihi.
Tunanganku yang buka. Kalian datang yah! Kami jual minuman kopi.”
“Pioner
kafe?” sahut Wanto.
“Iya, soalnya
di sini cuman es, jus saja.”
Gee berseru,
“Nah tuh dia, tempat kami khusus kopi.”
“Promosi!”
“Eh beneran.
Kopi lokal lho. Buat peminum kopi datang ke Warung Ngopi!”
“Nggak rambah
jus, Gee?”
“Nanti lihat
prospek kopi gimana dulu. Sebab kopi adalah motto kami.”
Gee bingung
mencari Tomi. Ia memang lama meninggalkan Tomi sendirian. Gee tak menemukan Tomi di sembarang
tempat. Dikeluarkan handphone dari
tas. Menempelkan ke telinga. “Kamu dimana, Tom?” tanya Gee cemas.
“Rumah.”
“Apa?” Gee takut ia salah dengar, “Kamu udah di rumah. Nggak
beritahu aku?”
“Aku lihat kamu asyik dengan temanmu.”
“Kamu sms
napa?”
“Aku lupa,”
Tomi asal jawab.
Gee
mendengus.
“Gee...”
“Ngg?”
“Aku
ngantuk.”
Tomi mengelus
permukaan dasi pemberian Gee. Lembut. Kainnya halus. Seperti barang mahal. Tomi
suka hadiah itu. Lehernya dilingkarkan dasi pertama kali oleh seorang
perempuan.
***
Lewat pantulan cermin adik perempuan Gee
terbaring pulas. Beralih Gee memandang wajahnya, melengus panjang. Lalu
merangkak naik ke tempat tidur. Terdengar suara keluhan, “Kak…”
Gee melepaskan lelah di atas spring bed. “Hmm.”
Gellyta bolak-balik badan.
“Kak...”
Gee menoleh ke adiknya. “Kamu sudah tidur
apa belum sih?”
“Kakak berisik! Ganggu aku tidur.”
“Sorry,” bisiknya, “Aku lagi bingung, dek!”
Gellyta memiringkan badan dengan mata setengah tertutup,
mengoceh, “Nyesel nginap di kamarmu!”
Gantian Gee pula mengesampingkan badan hingga mereka saling
berhadapan. “Kamu boleh kembali ke kamarmu.”
“Ah... Aku ngantuk berat, Kak, please...!”
Gee mendaratkan tangan ke atas pinggang Gelllyta. “Dek!”
Gellyta memberengut, “Aduh, Kak… jangan ajak ngobrol deh!” Ia
memindahkan tangan Gee.
“Bantuin Kakak dong! Dia tega
sekali ninggalin aku.”
“Apa?” mata
Gellyta terbuka lebar. Seketika Gellyta segar kembali oleh sebab ucapan
kakaknya yang membuat ia terbangun. “Cowok macam apa? Nggak gentlemen!”
Gee memposisikan badan ke semula. “Kenapa dia yah? Bahkan aku
tanya kenapa, dia nggak kasih penjelasan atau paling nggak beralasan ini itu
kek,” gerutu Gee.
“Kalau gitu
mengapa mikirin dia?”
Gee bungkam.
“Kenapa nggak tanggapi pertanyaanku? Katamu mau curhat.”
“Sorry, dek.” Gee
hempaskan kedua punggung tangannya, "Aku nggak habis pikir kenapa dia
marah.”
“Lalu Kakak ngapain sih sampai dia marah?”
“Nggak ada. Aku.. Aku... lebih banyak ngobrol dengan teman
cewek.”
“Hmm, tuh kan, Maybe he
is jealous with you.”
“Jealous. Not, kenapa cemburu?” Gee menoleh ke
Gellyta, “Aku bukan pacar dia, Gel.”
“Kakak keasyikan bareng teman jadi dia ngerasa tersisih
olehmu,” tangan Gellyta taruh di pundak kakaknya, tepuk-tepuk pelan, “mungkin
dia nggak suka. Cabut.”
Gee meraih guling nganggur dan memeluknya. Ia menatap ke atas
bidang luas dipoles cat putih.
“Cowok tuh nggak suka kalau temannya ngobrol sama orang lain
entah itu teman cewekmu, atau cowok.”
“Sebegitukah dia?”
Gellyta memandang sisi kiri wajah cantik kakaknya. Itu
tanda dia menyukaimu.
***
Sepanjang
hari Gee memandang ke Tomi. Tak habis pikir mengapa tingkah Tomi seperti ini
terhadapnya. Ia mengalah sama temannya yang tak ngubris ia seharian. Tomi
bicara seperlunya saja. Sepatah kata. Tidak senyum pada Gee pada pagi hari
ketika Gee turun kerja. Tidak singgung masalah kemarin malam soal ia kabur. Gee
merasa perlu minta penjelasan dari Tomi. Apa dan dimana kesalahan ia?
Baru
mengenali satu sifat Tomi yang terkuak. Marah bisa berhari-hari. Ternyata bukan
hanya kaum hawa. Cowok pun berlaku. Unik. Gee telah meminta maaf bila ia
berlaku salah namun Tomi belum mau memaafkan Gee. Nyatanya di tempat kerja,
mereka tak seperti biasanya, kaku. Tomi lebih banyak berdiam diri. Kalau ada
perlu baru ia buka mulut ngomong orderan pelanggan. Atau dengan bantuan.
Meminjam mulut Uki.
Bila papasan
dengan Tomi, Gee bingung sampai kapan cowok ini mengakhiri perang dingin dan
mulai kapan biaa diajak bicara seperti sediakala. “Tom...,” Gee mengeluh
sendiri. “Aku bingung sikapmu. Seharian acuh tak acuh kepadaku. Beberapa hari
bersikap dingin kepadaku.”
Dilihat
kesibukan Tomi berkurang dan tiada orang di sisinya. Gee menyempatkan waktu bertegur
dengan Tomi. “Tom, kamu masih marah padaku? Nggak afdol dong kalau kamu marah
aku.”
Ia perlu
mengetahui kesalahannya dari Tomi.
“Tom,”
panggil Gee.
Tomi tak
menyahut.
“Tom Tom...!”
“Yang duluan siapa?”
Gee tertegun.
“Beri aku alasanmu?”
“Siapa yang cuekin aku sendirian, bengong sendirian?” Tomi
menunduk dan berkata pelan, “Aku sulit berbaur dengan teman-temanmu.”
Gee menatap ke atas. Mencari wajah Tomi yang tertunduk
sepertinya ia menjauhi tatapan dari Gee. Tomi benar.
Malam itu ia sibuk ngobrol dengan temannya hingga Tomi terlupakan. “Maafkan aku. Aku salah. Abaikan
dirimu. I am sorry, Tom!”
Namun tak sepenuh dirinya bersalah, kan? Tomi tak
memberitahukan kepada Gee kalau Tomi pulang lebih cepat dan meninggalkan Gee
sendirian. Bukankah mereka datang ke acara bersamaan. Pulang mesti bersama.
“Kamu nggak pamit sama aku kalau kamu pulang duluan?”
Gee melipat tangan. “Bahkan tinggalin aku sendirian?”
sungutnya.
Banyak cowok di
sampingmu. Aku rasa kamu tetap aman dengan mereka.
“Kamu, sejak sekolah begitu.”
Gee terkesiap.
Namun Tomi tak enak hati. Gee sudah minta maaf padanya. Hati
Tomi pun luluh, “Aku bersalah padamu. Aku nggak seharusnya...”
Gee menahan ucapan Tomi dengan mengajukan tangan di depannya.
“Aku ngerti kok. Tak perlu kamu jelasin. Aku lupa
keberadaanmu karena teman-temanku.”
***
Sikutnya di
atas meja. Kepala dimiringkan. Handphone menempel di telinga Gee. “Kalian dimana?”
“Toleh ke
kanan dong.”
Gee
meletakkan handphone. Senyumnya
mengembang karena kemunculan Retha dan Kimie. Retha berlari kecil, “Hai...”
Retha sama tinggi dengan Gee. Kalau Kimie agak tinggi. Rambutnya belah tengah.
Ibu satu anak ini badannya bongsor.
Gee merangkul
kedua sahabatnya. Mumpung
sahabat Gee di sini-menghadiri undangan pesta pernikahan-ia mengundang mereka
ngopi bareng sebelum balik ke Surabaya. “Anakmu nggak
bawa?” tanya Gee menghempaskan tubuh di bangku.
“Kutitip di
tempat ibuku. Me time.”
Ketiganya
tergelak tawa.
Suasana di hot spot hari ini beda. Gee dikelilingi
sahabat lama. Tomi mengenal mereka. “Mau pesan apa?” tanya Tomi setelah
berbasi-basi tentang kabar mereka terkini.
Retha memulai
mesan. “Aku... coba kopi yang belum pernah kuminum, ah... Americano.”
Gee belum
buka mulut. Tomi menulis di kertas seraya bercuap, “Moccacino. Coklat dan susu lebih dominan.”
Gee
senyum-senyum. Ia tahu pertanyaan itu ditujukan kepada siapa. Dia memahamiku.
“Kimie?”
tawar Gee.
“Aku gak
minum kopi.”
Seusai Tomi
mendengar penolakan Kimie. Ia melontarkan pendapatnya, “Kopi memang hitam dan
pahit. Tapi terkadang kopi terasa manis bila duduk bareng dan minum bersama
teman.” Secara tak sadar dengan gerakan lembut Gee bertopang
dagu memperhatikan Tomi. “Aku anjurkan kopi yang lebih banyak susu. Kopi dibuat
lebih ringan. Coba ya?”
“Yakin? Buat
yang enak!” tegas Kimie pada Tomi.
“Baik.”
“Mmm... Aku
lapar. Kim, kamu mau...”
Sebelum Retha
selesai bicara Kimie sudah tahu apa yang diutarakan Retha, “Enggak,” tangannya
melambai.
“Gee? Nggak
makan?” tawar Tomi. Ia tahu siang ini Gee belum mengasup makanan ke dalam
tubuhnya.
“Kayaknya
enggak.”
Tomi melongos
berat. Namun ia tak mau terlihat begitu kentara di depan teman Gee. Mau saja ia
mengomeli Gee tapi tak mungkin bukan. Tiba-tiba marah pada Gee dan beri
perhatian kepadanya. Apa kata sahabat Gee? Mereka bisa
menilai arti maksud dari Tomi bila ia melakukan hal itu. Insting perempuan tak
bisa dibohongi. Jadi, Tomi mengurungkan niat itu. Jikalau Gee sendirian, bolehlah
ia menegur Gee. Tomi menunggu. Siapa tahu Gee berubah pikiran. Sengaja ia
berlama-lama menulis pesanan kayak siput berjalan. Sambil ia memikirkan apa
perlu ia mengulang menawari Gee makan malam?
Gee mendongak
ke atas, “Mmm... coba pancake
buatanmu kasih mereka coba yah. You’re
must try it! Porsinya aja lebihin dikit.”
Ia senang.
Lega. Tomi senyum kepada Gee dan Retha. Terakhir sama Kimie. Melayangkan senyum
kepadanya. Namun yang bersangkutan tak memperhatikan Tomi. Melihat ke arah ke
dua temannya. “OK. Ditunggu.”
“Dia nampak
gagah sekarang? Aku pangling. Tinggi lagi. Hhm...”
Gee tak
komentar. Kimie mendengus, “Iih. Gak usah ngebahas dia deh. Tuker
topik lain.”
“Kenapa sih
kamu pesimistis sama dia?” tanggap Retha.
“Dari dulu
dia klemak-klemek. Hhm, kalau aku memilih. Aku gak bakalan pilih dia jadi
pasanganku. Enggak mau dapat suami model dia.”
Gee memandang
Tomi di kejauhan sana. Sekarang dia
enggak kok. Walaupun ada, sedikit.
“Kira-kira
gimana yah kalau aku pdkt sama dia.”
Gee menyela,
“Retha, kamu kan sudah punya pacar.”
“Putus. Aku
hanya belum kasih tahu kamu.”
“Katamu mau
cari orang luar kota,” sahut Gee lagi.
Gee berkata
kepada sahabat dekatnya, “Kalau mau jadi pacarku dan incar aku yah siap-siap
saja ikut aku, wajib baca buku. Aku bakalan jatuh cinta pada orang yang
menyukai baca buku.” Mereka membahas tipe cowok bila seandainya disuruh memilih
tipe seorang pria idaman seperti apa. Apa yang diinginkan mereka dan tipe kayak
apa. Gee kebagian menjawab ketika dilempari pertanyaan dari temannya dan di
saat Tomi mengantar coffee dan pancake.
“Wajahnya
bagaimana?”
“Kalau dia
miskin nggak apa apa asal dia ganteng. Titik,” ujar Gee, melirik ke wajah Tomi sekilas yang
sedang menyajikan minuman untuk mereka.
“Untung kamu dapat Allan sekarang. Ganteng dan kaya.”
“Yah. Tepat sekali saudaraku.”
Disambut tawa sahabat Gee.
Sebagai tuan rumah Gee mengantar sahabatnya ke lantai bawah. Retha
mengaitkan tangan ke pinggang Gee, “Aku menyaksikan binar cinta di matamu.”
Deg.
Bagai
disambar petir.
“Sejak tadi
kuperhatikan kamu selalu menatapnya. Gee, kamu kembali ke masa pubermu. Benar tidak?”
Gee tergelak lepas, renyah.
“Tomi.. kamu lain kali ajak join ber-hang out dengan kami. OK.”
Gee dorong Retha dengan kalem, “Masuk ke mobil.” Kimie
telah menunggu di dalam mobil. Tapi Retha mencoba bertahan. “Aku tahu kamu sering mengajak
ngobrol sama Tomi. Isn't it? Zaman
sekolah. Kalau kamu nggak pernah ngomong. Matamu yang memberitahuku. Kamu
selalu berinisiatif mendekatinya kala dia sendirian.”
Kening Gee berkerut.
“Masak sih?” timpal Gee.
“Nah, lo
nggak nyadar, kan.”
“Aku nggak
tahu itu. Waktu itu cuman obrolan temanan saja. Aku kan
bergaul siapa saja.”
“Iya, bahkan
sekalipun ia bukan cowok yang menarik saat itu.”
Gee terpaku.
Retha bisa menangkap sesuatu di wajahnya. “Sekarang
nggak berubah.”
“Hati-hati
lho, say! Lubang di depan mata.” ingat Retha.
Tiga sahabat
itu melambaikan tangan.
Retha... apakah benar apa yang kamu katakan?
***
Sepulang dari
Jakarta, Primo disambut anak-anak Warung Ngopi. Kapten mereka
hanya bersikap biasa. Cuman tersenyum sungging menerima perlakuan penyambutan
pemecahan balon. Dikira mereka Primo tak menyukai semua ide kreatif mereka.
Tapi memang asli sikap Primo yang tak suka hal-hal berlebihan. Di
samping itu, mungkin ia sedang bersedih.
Gee beri
kata-kata penyemangat pada Primo. “Kalah tak apa-apa, Primo. Kamu bisa ajarin
ke teman-temanmu apa yang kamu petik selama di kompetisi.”
“Iya,
Kapten.”
“Nggak
masalah kita kalah. Ayo kita berusaha lagi!” kata Tomi.
“Aku pikir
pengalamanku cukup lumayan ternyata masih jauh dibanding mereka. Aku kalah di
desain gambar. Mereka terus berinovasi. Sedang aku... Style-ku itu-itu saja. Kita kalah di motif.” Mungkin Allan sedang memberitahukan
kepadaku.
“Lho Bos
nggak barengan pulang?” tanya Tomi.
“Allan ada
urusan bisnis. Aku disuruh pulang duluan. Ini, kopi titipan Allan habis
keliling daerah.”
“Yuk, kita
rayakan kekalahan kita.”
“Mana ada
orang kalah dirayakan,” cetus Livi pada Tomi.
Uki berseru,
“Kita rayakan Primo. Mari minum kopi!!!”
***
“Ah...issh.
Ergghh... Aduh duh sakitnya.” Gee naik tangga pincang-pincang dan mengerang
kesakitan di angkel kaki.
Memaksakan diri naik tangga satu persatu. Gee meringis, “Aduh...”
“Kenapa,
Gee?” tanya Tomi dari atas tangga. Gee berhenti di bordes duduk di situ. “Terkilir.”
Buru-buru
Tomi turun tangga. Tomi pegang tangan Gee memapahnya naik tangga, “Kok bisa?
Gimana kamu jatuh? Kenapa nggak panggil aku?”
“Aku asyik
BBM-an. Kupikir nggak
ada anak tangga. Tahu-tahu masih ada. Sakit betul, Tom...”
Gee meringis kesakitan. Ia hampir menangis. Tomi menaruh iba
pada Gee. Aduh.. gimana, harus bagaimana
aku?
“Kamu bisa
nggak?”
“Bisa.
Pelan-pelan.”
Tomi
mengutarakan izin kepada teman wanitanya, sebelum ia meradang, “Sini aku
gendong.”
“Apa? Ah... enggak
usah. Aku bisa jalan.”
“Jangan
bebal!”
Gee berhenti
bicara. “Kamu jangan sok kuat!” Di hatinya ia ingin seseorang yang bisa
membopongnya, namun karena pilihan yang ada sekarang jatuh pada Tomi seorang...
Ia mikir ulang dan berpura tak setuju sama pendapat Tomi. “Kita berdua bisa
jatuh.”
“Kamu jangan
nilai orang dari fisik! Kurus begini aku kuat, tahukah?”
Tiba-tiba
tubuh Gee terombang dan berada di bopongan tangan Tomi. Tomi tak bisa berpangku
tangan dan cuma bengong melihat Gee menahan perih.
“Apa kamu
bisa?”
“Bisa nggak
bisa, harus!” Gee melihat usaha keras di wajah Tomi yang menyungging
bibir karena beban berat badannya.
“Kamu nggak
usah banyak omong deh. Tambah beraaat...”
Gee melirik
Tomi di ekor matanya.
Beberapa anak
tangga Tomi lalui. Tak banyak rintangan. Setelah itu ia mulai berasa hawa panas
menjalar di wajah. Ditambah...
Gee
melingkarkan tangan ke leher Tomi. Pandangannya tertuju ke pipi kiri Tomi. Dari
tadi. Cukup lama ia memandang.
Tomi sadar,
wajahnya tambah panas dan beban berat Gee lebih terasa. Tumpuan lutut Tomi
terasa berat. Namun dengan tekad kuat ia memacu dirinya, “Sebentar lagi
nyampai...!!!” Ucapan motivasi itu berulang terus.
Antara muka
Tomi dan Gee jaraknya tipis. Gee mengendus sesuatu di badan Tomo, “Kamu bau.”
“Bau... !!!
Aduh, maaf!”
“Bau kopi.” Wangi kopi melekat di baju Tomi
terhirup ke hidung Gee.
Tomi bernapas
lega. “Bukan bau badan?”
“Campur.” Aku suka bau kopi.
“Aku tadi
goreng kopi.” Perjalanan berat itu nyaris sampai di gerai kopi.
“Kapan kamu roasted
untukku, grinded and brewing dari
tanganmu?”
Tomi tahu
maksud Gee. Bahasa Inggris ia tak ngerti tapi bahasa Inggris dalam percaturan
kopi ia sangat familiar. “Gee...” Tomi sedikit menelengkan kepala. “Mau?”
Kepala Gee
diangguk kuat sampai ketuk-ketuk bahu kiri Tomi. Mata Tomi berbinar dengan
senyum manis merekah. Sayang, Gee tak dapat melihat jelas dari samping.
“Kalau kamu
pengen aku akan buatin untukmu. Espresso
atau French Press?”
“Tergantung mood-ku nanti.”
“Ooookey...”
“Hufh... Berat sekali kamu, Gee. Turuni beratmu dong! Kamu ke
rumahku. Turun naik turun naik,” Tomi seraya gerakkan mukannya naik ke atas dan
turun, “tangga bukit di rumahku. Capek. Supaya aku gendong kamu nggak encok.”
Gee tertawa lepas. Lupa seketika rasa sakit di
kaki.
“Lha aku
nggak nyuruh kamu gendong.”
“Aku kasihan
sama kamu, Gee.”
Di pojok
kanan gerai Tomi menaruh Gee di sofa panjang yang empuk. Saat ingin merebahkan
punggung Gee. Entah bagaimana sikut kiri Tomi kehilangan kekuatan menahan beban
berat badan Gee atau kram karena kecapekan membopong tubuh Gee.
Argghhh...
*Apa yang telah terjadi pada mereka?
Gee menoleh
dan matanya terpejam rapat. Ia duluan antisipasi kalau wajah Tomi mendadak
menimpa ke wajahnya. Tomi hampir menindih tubuh Gee jika saja Gee tak menahan
bahu Tomi dengan tangannya.
Untung dia bisa
menahan.
Deg Deg… Dug Dug… Deg
Deg…
Pelan-pelan Gee membuka matanya sejurus berpaling ke depan. Pemilik
sepasang mata sipit itu sedang menatapnya.
Tomi bergegas tegakkan badan dan garuk-garuk jidatnya.
Keningnya berkerut. Cepat-cepat ia berkata, intonasinya nggak jelas. “Aku
telepon tukang urut ke sini.” Gee tak menangkap jelas apa yang diucap Tomi.
Tahu-tahu ia… menjauhkan diri supaya Gee tak melihat wajahnya memerah.
Kegugupannya. Keringatnya yang mendadak mengalir deras. Ia tak mampu mengontrol
semua perasaan yang berkecamuk di hati.
Gara-gara
menatap wajah Gee sesingkat dan sedekat itu.
Gee
menghembus nafas panjang, “Huft…” Setelah begitu lama ia menahan nafas karena
ketegangan tadi. Gee membetulkan posisi duduk agar ia merasa nyaman dan
mengatur nafas. Kemudian ia mengambil smartphone-nya.
Ketika Gee
menelepon seseorang namun yang bersangkutan tak mengangkat. Ia berhenti sejenak untuk tak
menelepon dan tiba-tiba smartphone-nya
berdering. Seakan ia bertelepati dengan Gee. Tapi bukan ia yang dicari Gee.
“Hai, dimana sekarang?”
Gee mengintip Tomi lewat dinding kaca. Namun tak menjangkau.
Mudahan masih di luar gerai. “Aku di rumahmu.” Gee mengaduh nyeri.
“Kenapa?”
“Aku terjatuh.”
“Gely?”
“Aku nggak tahu dia kemana. Kuhubungi nggak diangkat.”
“Aku telepon cari orang
kesana. Temanimu.”
“Lan, Aku…,”
Gee terbata-bata. “Aku
bisa.”
“Any somebody with you?”
Gee tak dapat berkata banyak. Tenggorokannya
tercekat. “Ada. Tomi di sini mengurus aku. Dia panggil
tukang urut ke sini.”
“I know,” jawab Allan lirih. “Aku akan segera pulang.”
Entah mengapa di saat Gee ketimpa masalah ia senang ditelepon
Allan. Namun hari ini ia rada tak butuh pertolongan Allan. Begitupun ketika ia
mendengar kabar bahwa Allan akan segera pulang. Bukankah itu hari yang
seharusnya menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Dan mengapa hati tercubit
tak senang?
Allan tak bisa bercakap lama di telepon. Ia
sedang menggelar pertemuan dengan koneksi di Jakarta. Ia meluangkan waktu
sebentar untuk menanyakan keadaan Gee sekarang.
Bab selanjutnya:
Bab selanjutnya:
No comments:
Post a Comment